Laman

Sabtu, 30 Juni 2012

4 jalan mencari Tuhan

Agama berasal dari kata “a” dan “gam”. A artinya tidak, gam artinya pergi, Parisada Hindu Dharma Pusat (1967 ; 9). Jadi Agama mengandung pengertian langgeng dan tidak pergi kemana-mana. Konsep agama adalah suatu ajaran yang tetap langgeng, kekal, tidak dipengaruhi oleh tempat dan waktu. Jadi ajaran agama akan tetap ada selama manusia eksis di muka bumi ini. Hal itu disebabkan oleh agama diperlukan oleh manusia untuk menjadi penuntun hidup dari kegelapan atau awidya.
Dari pernyataan tersebut dapat dijelaskan bahwa agama adalah suatu ajaran yang akan selalu siap mengantarkan kita keluar dari suatu keadaan kegelapan atau awidya. Dalam konteks ajaran Hindu Dharma bahwa agama akan mengantarkan kita kembali bersatu dengan Tuhan. Konsep Tuhan dalam ajaran Hindu merupakan salah satu dari intisari konsep Hindu yaitu Panca Srada :
  1. Percaya dengan adanya Tuhan (Brahman)
  2. Percaya dengan adanya Atma
  3. Percaya dengan adanya Hukum Karama Phala
  4. Percaya dengan adanya Samsara
  5. Percaya dengan adanya Moksa, Parisada Dharma Hindu Pusat (1967 ; 10)
Ajaran moksa adalah tujuan akhir setiap Umat Agama Hindu seperti dinyatakan dalam Buku Pengantar Agama Hindu untuk Perguruan Tinggi bahwa tujuan agama adalah untuk mendapatkan kesejahteraan di dunia dan moksa di akherat. Atau diistilahkan dengan “Mokshartham Jagadhita ya ca iti dharma”. Dalam sara kita akan dapati bahwa dharma itu diumpamakan sebagai jalan atau alat bahkan diibaratkan sebagai perahu ( alat untuk menyebrang) dari dunia yang tidak kekal ini ke pulau harapan yaitu sorga, Cudamani (1987 ; 14).
Ada beberapa jalan untuk mencapai untuk mencapai tujuan agama tersebut yang disebut dengan catur marga. Keempatnya ini adalah sama utamanya.

Apa makna catur marga?

Catur marga berasal dari dua kata yaitu catur dan marga. Catur berarti empat dan marga berarti jalan/cara atapun usaha.
Catur Marga adalah empat jalan atau cara umat Hindu untuk menghormati dan menuju ke jalan Tuhan Yang Maha Esa atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa. ‘jalan’ atau upaya menghubungkan atman dengan brahman sehingga ada ‘kedekatan’ untuk tujuan kemuliaan atman, dengan harapan semoga jika tiba saatnya kita wafat, atman dapat bersatu dengan brahman. Dengan kata lain, untuk mencapai moksah, yakni tujuan hidup tertinggi dari catur purushartha (dharma, artha, kama, moksa). Catur marga juga sering disebut dengan catur marga yoga.
Di dalam agama Hindu tidak ada suatu keharusan untuk menempuh satu-satu jalan, karena semua jalan untuk menuju Tuhan Yang Maha Esa diturunkan oleh-Nya untuk memudahkan umat-Nya menuju kepada-Nya. Empat jalan untuk menghubungkan diri, yang dimaksud adalah menghubungkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa. Usaha untuk menghubungkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa akan berhasil bila didukung dengan metode, media maupun lokasi spiritual yang kondusif untuk itu, di samping personalitas pribadi orang yang menghubungkan diri kepada-Nya.
Sumber ajaran catur marga ada diajarkan dalam pustaka suci Bhagawadgita, terutama pada trayodhyaya tentang karma yoga marga yakni sebagai satu sistem yang berisi ajaran yang membedakan antara ajaran subha karma (perbuatan baik) dengan ajaran asubha karma (perbuatan yang tidak baik) yang dibedakan menjadi perbuatan tidak berbuat (akarma) dan wikarma (perbuatan yang keliru).
Karma memiliki dua makna yakni karma terkait ritual atau yajna dan karma dalam arti tingkah perbuatan.
Kedua, tentang bhakti yoga marga yakni menyembah Tuhan dalam wujud yang abstrak dan menyembah Tuhan dalam wujud yang nyata, misalnya mempergunakan nyasa atau pratima berupa arca atau mantra.
Ketiga, tentang jnana yoga marga yakni jalan pengetahuan suci menuju Tuhan Yang Maha Esa, ada dua pengetahuan yaitu jnana (ilmu pengetahuan) dan wijnana (serba tahu dalam penetahuan itu).
Keempat, Raja Yoga Marga yakni mengajarkan tentang cara atau jalan yoga atau meditasi (konsentrasi pikiran) untuk menuju Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Berikut sloka yang mendukung adanya perbedaan jalan dalam menuju tuhan;
Yo yo yām yām tanum bhaktah śraddhayārcitum icchati, tasya tasyācalām śraddhām tām eva vidadhāmy aham (Bhagawadgita, 7:21)
Kepercayaan apapun yang ingin dipeluk seseorang,
Aku perlakukan mereka sama dan
Ku-berikan berkah yang setimpal supaya ia lebih mantap
E yathā mām prapadyante tāms tathaiva bhajāmy aham, mama vartmānuvartante manusyāh pārtha sarvaśah (Bhagawadgita, 4:11)
Jalan mana pun yang ditempuh seseorang kepada-Ku, Aku memberinya anugerah setimpal. Semua orang mencari-Ku dengan berbagai jalan, wahai putera Partha.

Bagian – Bagian Catur Marga Yoga

Catur marga terdiri dari empat bagian yaitu
  1. Bhakti Marga, Sembahyang
  2. Karma marga, Berprilaku baik
  3. Jnana marga Ilmu pengetahuan
  4. Raja Marga. Meditasi atau perernungan
Setiap orang boleh memilih salah satu dari keempat jalan ini sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing.

a. Bhakti Marga Yoga

Bhakti artinya cinta kasih. Kata bhakti ini digunakan untuk menunjukkan kasih kepada objek yang lebih tinggi atau lebih luas cakupannya. contoh: kepada orang tua, para leluhur, para dewa, Tuhan Yang Maha Esa. Kata cinta kasih digunakan untuk menunjukkan cinta kepada sesama manusia atau mahluk di bawah mansuia : kawan, keluarga, pacar, tetangga, rekan kerja, binatang, tumbuh-tumbuhan, alam samesta ini. Jalan Bhakti Marga: jalan untuk menuju Tuhan Yang Maha Kuasa dengan menggunakan sarana RASA. Orang yang melakukan jalan bhakti disebtu Bhakta.
Sivananda (1997:129-130) menyatakan bahwa bhakti merupakan kasih sayang yang mendalam kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang merupakan jalan kepatuhan atau bhakti.
Bhaktiyoga disenangi oleh sebagian besar umat manusia. Tuhan merupakan pengejawantahan dari kasih sayang, dan dapat diwujudkan melalui cinta kasih seperti cinta suami kepada istrinya yang mengelora dan menyerap segalanya. Cinta kepada Tuhan harus selalu diusahakan. Mereka yang mencintai Tuhan tak memiliki keinginan ataupun kesedihan. Ia tak pernah membenci mahluk hidup atau benda apapun, dan tak pernah tertarik dengan objek-objek duniawi. Ia merangkul semuanya dalam dekapan tingkat kasih sayangnya.
Kama (keinginan duniawi) dan trisna (kerinduan) merupakan musuh dari rasa bhakti. Selama ada jejak-jejak keinginan dalam pikiran terhadap objek-objek duniawi, seseorang tidak dapat memiliki kerinduan yang dalam terhadap Tuhan. Atma-Nivedana merupakan penyerahan diri secara total setulus hati kepada Tuhan, yang merupakan anak tangga tertinggi dari Navavidha Bhakti, atau sembilan cara bhakti. Atma-Nivedana adalah Prapatti atau Saranagati. Penyembah menjadi satu dengan Tuhan melalui Prapatti dan memperoleh karunia Tuhan yang disebut Prasada. Bhakti merupakan suatu ilmu spiritual terpenting, karena mereka yang memiliki rasa cinta kepada Tuhan, sesungguhnya kaya. Tak ada kesedihan selain tidak memiliki rasa bhakti kepada Tuhan.
Dari caranya mewujudkan, bhakti dibagi dua yaitu
  1. Para bhakti
  2. Apara bhakti.
Para artinya utama; jadi para bhakti artinya cara berbhakti kepada Hyang Widhi yang utama, sedangkan apara bhakti artinya tidak utama; jadi apara bhakti artinya cara berbhakti kepada Hyang Widhi yang tidak utama. Apara bhakti dilaksanakan oleh bhakta yang tingkat inteligensi dan kesadaran rohaninya kurang atau sedang-sedang saja. Para bhakti dilaksanakan oleh bhakta yang tingkat inteligensi dan kesadaran rohaninya tinggi.
Ciri-ciri bhakta yang melaksanakan apara bhakti antara lain banyak terlibat dalam ritual (upacara Panca Yadnya) serta menggunakan berbagai simbol (niyasa).
Sedangkan Ciri-ciri bhakta yang melaksanakan para bhakti antara lain sedikit terlibat dalam ritual tetapi banyak mempelajari Tattwa Agama dan kuat/berdisiplin dalam melaksanakan ajaran-ajaran Agama sehingga dapat mewujudkan Trikaya Parisudha dengan baik dimana Kayika (perbuatan), Wacika (ucapan) dan Manacika (pikiran) selalu terkendali dan berada pada jalur dharma.
Bhakta yang seperti ini banyak melakukan
  1. Drwya Yadnya (ber-dana punia),
  2. Jnana Yadnya (belajar-mengajar),
  3. Tapa Yadnya (pengendalian diri).

b. Jnana Marga Yoga

Sivanada (1993:133-134) menyatakan bahwa jñanayoga merupakan jalan pengetahuan. Moksa (tujuan hidup tertinggi manusia berupa penyatuan dengan Tuhan Yang Maha Esa) dicapai melalui pengetahuan tentang Brahman (Tuhan Yang Maha Esa).
Pelepasan dicapai melalui realisasi identitas dari roh pribadi dengan roh tertinggi atau Brahman. Penyebab ikatan dan penderitaan adalah avidya atau ketidaktahuan. Jiwa kecil, karena ketidaktahuan secara bodoh menggambarkan dirinya terpisah dari Brahman. Avidya bertindak sebagai tirai atau layer dan menyelubungi jiwa dari kebenaran yang sesungguhnya, yaitu bersifat Tuhan. Pengetahuan tentang Brahman atau Brahmajñana membuka selubung ini dan membuat jiwa bersandar pada Sat-Cit-Ananda Svarupa (sifat utamanya sebagai keberadaan kesadaran- kebahagian mutlak) dirinya.
Jnana bukan hanya pengetahuan kecerdasan, mendengarkan atau membenarkan. Ia bukan hanya persetujuan kecerdasan, tetapi realisasi langsung dari kesatuan atau penyatuan dengan yang tertinggi yang merupakan paravidya. Keyakinan intelekual saja tak akan membawa seseorang kepada Brahmajnana (pengetahuan dari yang mutlak).
Pelajar Jñanayoga pertama-tama melengkapi dirinya dengan tiga cara yaitu:
  1. pembedaan (viveka),
  2. ketidakterikatan (vairagya),
  3. kebajikan, ada enam macam (sat-sampat), yaitu: (a) ketenangan (sama), (b) pengekangan (dama), (c) penolakan (uparati), ketabahan (titiksa), (d) keyakinan (sraddha), (e) konsentrasi (samadhana), dan (f) kerinduan yang sangat akan pembebasan (mumuksutva).
Selanjutnya ia mendengarkan kitab suci dengan duduk khusuk di depan tempat duduk (kaki padma) seorang guruyang tidak saja menguasai kitab suci Veda (Srotriya), tetapi juga bagusp dalam Brahman (Brahmanistha).
Selanjutnya para siswa melaksanakan perenungan, untuk mengusir segala keragu-raguan. Kemudian melaksanakan meditasi yang mendalam kepada Brahman dan mencapai Brahma-Satsakara. Ia seorang Jivanmukta (mencapai moksa, bersatu dengan-Nya dalam kehidupan ini).
Ada tujuh tahapan dari Jñana atau pengetahuan, yaitu;
  1. aspirasi pada kebenaran (subhecha),
  2. pencarian filosofis (vicarana),
  3. penghalusan pikiran (tanumanasi),
  4. pencapaian sinar (sattwatti),
  5. pemisahan batin (asamsakti),
  6. penglihatan spiritual (padarthabhawana), dan
  7. kebebasan tertinggi (turiya).

c. Karma Marga Yoga

Secara alamiah tidak seorangpun di dunia ini yang mampu menghidar dari aktivitas kerja, karena kerja/actian adalah salah satu ciri mahluk hidup, manusia merupakan salah satu mahluk hidup. Dia hidup karena dia bergerak, jantungnya berdetak, darahnya mengalir, pencernaannya beraktivitas normal, semua organ tubuh bergetar normal.
Karma berarti kerja. Jalan Karma artinya adalah Jalan menuju Hyang Widdhi Wasa dengan menggunakan sarana Kerja (Action) yang tulus ikhlas tanpa pamrih.
Yoga ini merupakan penolakan terhadap buah perbuatan. Karmayoga mengajarkan bagaimana bekerja demi untuk kerja itu, yaitu tiadanya keterikatan. Demikian juga bagaimana menggunakan tenaga untuk keuntungan yang terbaik. Bagi seorang Karmayogin, kerja adalah pemujaan, sehingga setiap pekerjaan dialihkan menjadi suatu pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Seorang Karmayogin tidak terikat oleh karma (hukum sebab akibat), karena ia mempersembahkan buah perbuatannya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Menurut kitab suci Bhagavad Gita kerja adalah SUATU KWAJIBAN.
“Nahi kascity ksanam api jatu tisthaty akarmakrit, karyate hy awasah karma sarwah prakritijair gunaih. “ (Bhagawadgita III.5)
Artinya : Walau sesaat jua tidak seorangpun untuk tidak berbuat karena manusia dibuat tidak berdaya oleh hukum alam yang memaksanya bertindak.
“Niyatam kuru karma twam karma jyayo hy akarmanah, sarirayatra pi ca te na prasidhyed akarmanah.” (Bhagawadgita III.8)
Artinya : Bekerjalah seperti apa yang telah ditentukan, sebab berbuat lebih baik dari pada tidak berbuat, dan bahkan tubuhpun tidak akan berhasil dipelihara tanpa bekerja.
Tidak ada manusia yang bisa menghindar dari hukum kerja itu bahkan ketika tidurpun tanpa disadari jantung tetap berdetak, darah tetap mengalir, dan nafas terus berhembus. Hyang Widhi -pun setiap detik bekerja tiada henti seperti menggerakkan benda-benda angkasa, menumbuhkan-memelihara-memusnahkan kehidupan mahluk-mahluk, menghembuskan angin, meriakkan gelombang laut dll.
“Yadi hy aham na warteyam, jatu karmany atandritah, mama wartna nuwartante, mansyah partha sawarsah. Utsideyur ime loka, na kuryam karma ced aham, samskarasya ce karta syam upahanyam imah prajah.” (Bhagawadgita III.223.24 )
Artinya : Sebab kalau Aku tidak selalu bekerja tanpa henti-henti, manusia tidak akan mengikuti jalan-Ku itu, dalam segala bidang apapun juga. Dunia ini akan hancur bila Aku tidak bekerja; Aku menjadi pencipta kekacauan, memusnahkan semua manusia.
Penjelasan tentang setiap pekerjaan dilaksanakan sebagai wujud bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa dijelaskan dalam Bhagavadgita IX.27-28 sebagai berikut.
“Wahai Arjuna, apa pun yang engkau kerjakan, apapun yang engkau makan, apapun yang engkau persembahkan, dan engkau amalkan, juga disiplin diri apa pun yang engkau laksanakan. Lakukanlah semuanya itu hanya sebagai bentuk bhakti kepada Aku. Dengan demikian engkau akan terbebas dari ikatan kerja atau perbuatan yang menghasilkan pahala baik atau buruk. Dengan pikiran terkendali, engkau akan terbebas dan mencapai Aku”
Dalam kitab Bhagavadgita (III.19,30) juga mengamanatkan sebagai berikut.
Laksanakanlah kerja yang engkau lakukan tanpa pamrih……………… Serahkanlah seluruh perbuatanmu kepada-Ku……………. bebaskan dirimu dari kerinduan dan kepentingan itu, berjuanglah jangan hiraukan kesedihan.
Setiap kerja menambahkan satu mata rantai terhadap ikatan samsara dan membawa pada pengulangan kelahiran. Ini merupakan hukum karma yang pasti. Tetapi, melalui pelaksanaan Karmayoga, akibat karma dapat dihapus, dan karma menjadi mandul. Pekerjaan yang sama, apabila dilakukan dengan sikap mental yang benar, semagat yang benar, kehendak yang benar melalui yoga, tanpa keterikatan dan pengharapan terhadap buahnya, dengan pikiran yang seimbang dalam keberhasilan maupun kegagalan. Tidak ada menambahkan mata rantai terhadap belenggu samsara tersebut. Sebaliknya, memurnikan hati dan membantu untuk mencapai pembebasan melalui turunnya penerangan Tuhan Yang Maha Esa atau merekahnya fajar kebijaksanaan.
Dengan demikian bila seseorang tidak bekerja dia akan dilindas oleh arus perputaran dunia dan menderita akibatnya. Penderitaan itulah yang menghancurkan hidupnya. Manusia sebagai Bhuwana alit dan Hyang Widhi sebagai Bhuwana agung dapat diumpamakan sebagai setitik air dalam sungai. Titik air itu mengikuti dan menyatu dengan sungai, sehingga manusiapun mengikuti dan menyatu dengan Hyang Widhi, khususnya dalam bekerja. Untuk itu Hyang Widhi menciptakan hukum Karma bagi manusia dan hukum Rta bagi alam semesta.
Contoh hukum Karma: seseorang bekerja sebagai karyawan, maka setiap bulan ia menerima gaji.
Contoh hukum Rta: karena bumi beredar mengelilingi matahari maka terjadilah hari siang dan malam di bumi.
BEKERJA KARENA PIKIRAN.
Pikiran adalah sumber motivasi bekerja, maka ia menentukan hasil suka dan duka dalam karma. Kerja yang dilandasi oleh pikiran mulia akan membuahkan karma yang mulia, sedangkan kerja yang dilandasi pikiran hina akan membuahkan karma yang hina pula. Karma yang mulia menuntun manusia pada kehidupan yang moksartham jagadhita sedangkan karma yang hina membawa manusia ke neraka.
BEKERJA UNTUK KEPENTINGAN MASYARAKAT DAN DIRI SENDIRI.
Pola pikiran manusia dizaman purba mula-mula bekerja untuk kepentingan diri sendiri. Lama kelamaan manusia sadar bahwa ia tidak dapat hidup tanpa bantuan atau jasa manusia lain sehingga mendorongnya bermasyarakat. Kini manusia bekerja untuk masyarakat kemudian dirinya menikmati hasil kerjanya itu berupa karma.
Dalam keseharian kita mengenal perkatan : saya, yang berasal dari perkataan sahaya, artinya “pengabdi”.
Di Bali orang menyebut dirinya “titiang” berasal dari “titah Hyang (Widhi)” artinya perintah Tuhan.
Di Jawa orang menyebut dirinya “Kulo” asal kata “kaula” (pengabdi).
Di Jawa Barat orang menyebut dirinya “abdi” (juga pengabdi).
Pengertian lebih luas adalah pernyataan bahwa saya adalah hamba yang melaksanakan perintah Hyang Widhi untuk mengabdi pada kepentingan Bhuwana Agung termasuk manusia.
MENCINTAI PEKERJAAN.
Manusia yang bekerja disayang Hyang Widhi. Makin rajin dan jujur ia bekerja maka Hyang Widhi semakin kasih sayang kepadanya, sehingga pahala dari karmanyapun berlimpah. Manusia dapat rajin bekerja dan berhasil baik jika ia mencintai pekerjaannya. Mencintai pekerjaan adalah sama dengan mencintai Hyang Widhi. Mereka yang yakin bahwa bekerja baik adalah perintah Hyang Widhi, maka ia akan sedih dan malu bilamana hasil pekerjaannya tidak baik atau bahkan merugikan masyarakat secara langsung atau tidak langsung.
TRIGUNA DALAM BEKERJA.
Triguna: Satwam, Rajas, Tamas
adalah tiga serangkai yang tidak dapat dipisahkan dalam melakukan pekerjaan agar berhasil baik.
  1. Pikiran-pikiran satwam adalah pikiran yang sesuai dengan ajaran agama Hindu menjadi dasar utama motivasi bekerja.
  2. Kemudian semangat yang tinggi mengerahkan daya pikir dan physik menunaikan pekerjaan sebaik-baiknya disebut sebagaiRajas.
  3. Namun demikian manusia membutuhkan istirahat pikiran dan physik misalnya bersantai dan tidur yang disebut Tamas.
Perimbangan antara satwam, rajas, dan tamas hendaknya diatur berdasarkan kebijaksanaan masing-masing orang. Kepandaian mengatur keseimbangan inilah yang menentukan keberhasilan seseorang dalam bekerja. Dengan kata lain Triguna adalah alat untuk mencapai hasil kerja.
KARMA PHALA.
Karma adalah perbuatan dan phala adalah hasil; jadi karma phala artinya hasil dari perbuatan. Ini adalah hukum Hyang Widhi, termasuk dalam Pancasrada dan Trikaya Parisuda. Hukum ini bersifat universal berlaku bagi setiap umat manusia di dunia. Hasil pekerjaan berdampak secara nyata (skala) dan tidak nyata (niskala). Wujud nyata banyak berkaitan dengan keduniawian sedangkan wujud tidak nyata berupa ketentraman bathin.
Ditinjau dari waktu saat berbuat dengan waktu menerima hasil perbuatan karma phala dibedakan menjadi tiga yaitu :
  1. Prarabda karma phala, yaitu karma yang dilakukan semasa hidup dan pahalanya diterima pula semasa hidup ini.
  2. Kryamana karma phala, yaitu karma yang dilakukan semasa hidup dan pahalanya diterima di nirwana.
  3. Sancita karma phala, yaitu karma yang dilakukan semasa hidup dan pahalanya diterima pada reinkarnasi berikutnya.
Oleh karena itu bekerjalah sebaik-baiknya agar memperoleh karma phala yang baik. Kehidupan di dunia ini singkat, maka jangan sia-siakan waktu dengan tidak bekerja atau bekerja dengan hasil yang tidak baik.
CATUR PURUSA ARTHA.
Bekerja dengan baik adalah bekerja sesuai dengan norma-norma Agama, Susila dan Hukum. Ketiganya terangkum dalam ajaran Catur Purusa Artha yaitu :
  1. Dharma: bekerja mengutamakan kepentingan masyarakat sesuai dengan ajaran agama.
  2. Artha: pahala dari karma berupa benda-benda keduniawian.
  3. Kama: pemenuhan kebutuhan hidup: sandang, pangan, perumahan dan kebutuhan physik lainnya seperti hiburan yang sehat.
  4. Moksa: kebahagiaan hidup lahir dan bathin yang menjadi tujuan kehidupan utama.
Catur purusa artha ini urut-urutannya tidak boleh ditukar, misalnya lebih dahulu mengejar artha barulah menuju dharma. Bila demikian halnya maka dapat saja manusia bekerja tanpa pedoman moral yang bersumber dari ajaran Agama, hal mana akan menyeret manusia kelembah penderitaan.

d. Raja Marga

Dalam kehidupan nyata pelaksanaan Catur Marga menurut penulis yang paling sulit adalah Raja Marga. Karna Raja Marga menyatakan bahwa menggunakan pikiran sebagai alat . Sehingga memunculkan pertanyaan bagaimana sesungguhnya pelaksanaan ajaran Raja Marga dalam hal mengantarkan kita menuju tujuan akhir dari kehidupan.
Rajayoga adalah jalan yang membawa penyatuan dengan Tuhan Yang Maha Esa, melalui pengekangan diri dan pengendalian diri dan pengendalian pikiran.
Raja Marga menggunakan pikiran sebagai alat oleh karna itu pengenalan terhadap pikiran itu sangat penting. Berhasil atau tidaknya tergantung dari berhasil atau tidaknya kita mengendalikan /mengalahkan pikiran.
Rajayoga mengajarkan bagaimana mengendalikan indria-indria dan vritti mental atau gejolak pikiran yang muncul dari pikiran melalui tapa, brata, yoga dan semadhi.
Dalam Hathayoga terdapat disiplin fisik, sedangkan dalam Rajayoga terdapat disiplin pikiran.
Melakukan raja marga yoga hendaknya dilakukan secara bertahap melalui astangga yoga yaitu delapan tahapan yoga, yang meliputi Yama, Niyama, Asana, Pranayama, Pratyahara, Dharana, Dhyana, dan Samadhi.
Seseorang yang melaksanakan ajaran raja marga yoga disebut dengan sebutan Yogi. Yogi berkonsentrasi pada cakra-cakra, pikiran, matahari, bintang, unsur-unsur alam semesta dan sebagainya dan mencapai pengetahuan supra manusia dan memperoleh penguasaan atas unsur-unsur tersebut. Daya konsentrasi hanya kunci untuk membuka rumah tempat penyimpanan kekayaan pengetahuan. Konsentrasi tak dapat muncul dalam waktu seminggu atau sebulan, karena ia memerlukan waktu. Pengaturan dalam melaksanakan konsentrasi merupakan kepentingan yang utama. Brahmacarya, tempat yang dingin dan sesuai, pergaulan dengan orang-orang suci (satsanga) dan sattvika merupakan alat bantu dalam konsentrasi.
Konsentrasi dan meditasi menuntun menuju Samadhi atau pengalaman supra sadar, yang memiliki beberapa tingkatan pendakian, disertai atau tidak disertai dengan pertimbangan (vitarka), analisa (vicara), kebahagiaan (ananda), dan kesadaran diri (asmita). Demikian, kailvaya atau kemerdekaan tertinggi dicapai.
Untuk bisa mengalah pikiran pertama-tama kita harus tahu medannya. Apa sebenarnya pikiran itu, bagaimana sifatnya dan apa fungsinya. Setelah itu baru kita menyususn strategi bagaimana taktik untuk mengendalikan dan apa sarana yang bisa digunakan untuk menundukkan.
Sebelum kita menguraikan satu persatu dari rahasia pengendalian pikiran ini barangkali akan lebih baik diketahui lebih dahulu cara yang ditempuh Raja Marga dalam prakteknya mencapai tujuan menunggalnya Atman dengan Arahman. Di Indonesia Raja Marga itu dikenal dengan istilah meditasi, retreat atau samadi. Adapun hal-hal dan cara dalam melakukan mediatasi adalah seperti dijelaskan di bawah ini.
Konsentrasi dan Pemusatan Pikiran
Ada dua arah yang biasa ditempuh para yogi di dalam melaksanakan pemusatan pikiran yaitu :
1). Pemusatan pikiran kepada Tuhan yang berada di luar diri sendiri
Tuhan berada pada diri kita sehingga kita dapat memusatkan pikiran pada diri sendiri tetapi sangat sulit sehingga diperlukan obyek di luar dirinya sebagai simbol dirinya. Caranya dalam melatih pikiran agar terpusat sebutlah nama Uthan berlulang-ulang dan bayangkan dalam wujud paling disukai. Nama Tuhan itu sendiri adalah mantra, mantra itu selalu murini dan selalu aktif. Apapun nama Tuhan yang paling disukai misalnya Shanghyang Widhi, Siwa, Wisnu, Batara Guru dan sebagainya.
2). Pemusatan pikiran kepada Tuhan yang berada di dalam diri sendiri
Sebagian dari para yogi menempuh jalan sebaliknya Tuhan dicari di dalam dirinya sendiri. Rumah Tuhan atau Pura adalah badan kita sendiri. Di dalam Upanisad disebutkan bahwa di dalam diri kita bertahta Atma dan Parama Atma dilukiskan seperti dua ekor burung yang bertengger pada sebuah dahan. Yang satu dari padanya aktif menikmati buah yang ada di dahan itu sedangkan yang lain hanya menonton menyaksikan apa yang dilakukan oleh temannya. Tetapi kedua burung itu adalah burung yang sama. Ciri dari pemusatan pikiran yang berada di dalam diri adalah menyendiri, menyepi dan tahan godaan. Sehingga pelaksanaannya sangat sulit dan berbahaya maka diperlukan guru sebagai penuntun.
Dasar-dasar yang diperlukan dalam pemusatan pikiran
Baik untuk pemusatan pikiran keluar maupun kedalam, diperlukan beberapa dasar yang melatar belakangi pikiran, agar jangan pemusatan pikiran itu menimbulkan akibat negatif. Baik kepada diri sendiri ataupun orang lain. Adapun beberapa dasar yang diperlukan tersebut adalah :
  1. Kesucian pikiran baik lahir dan batin
  2. Kesabaran berlatih dengan penuh disiplin serta mematuhi ketentuan dan aturan yang diperlukan
  3. Memiliki kepuasan batin
  4. Memiliki kemampuan untuk mengendalikan pikiran.
Pemusatan pikiran tanpa kesucian bisa membahayakan
Jika sarat kesucian tidak dipenuhi maka tidak dapat dikatakan meditasi itu meditasi yang benar. Bahayanya besar sekali baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Orang yang biasa memusatkan pikiran sama dengan orang yang memiliki sebuah senjata atau pisau. Pisau bisa berguna untuk membuat kebaikan dan juga bisa membahayakan kalau digunakan untuk membunuh orang.
Pemusatan pikiran atau konsentrasi yang didasari oleh nafsu orang mendorong untuk bermeditasi agar mendapatkan kepuasaan, pangkat dan kesaktian. Hasil kesaktian yang mereka peroleh dipergunakan untuk hal-hal yang tidak baik.
Dari keempat jalan tersebut semuanya adalah sama, tidak ada yang lebih tinggi maupun lebih rendah, semuanya baik dan utama tergantung pada kepribadian, watak dan kesanggupan manusia untuk melaksanakannya.

Implementasi Ajaran Catur Marga Yoga dalam Kehidupan Masyarakat Hindu.

Penerapan catur marga oleh umat Hindu sesungguhnya telah diterapkan secara rutin dalam kehidupannya sehari-hari, termasuk juga oleh umat Hindu yang tinggal di Bali maupun oleh umat Hindu yang tinggal di luar Bali. Banyak cara dan banyak pula jalan yang bisa ditempuh untuk dapat menerapkannya. Sesuai dengan ajaran catur marga bahwa penerapannya disesuaikan dengan kondisi atau keadaan setempat yang berdasarkan atas tradisi, sima, adat-istiadat, drsta, ataupun yang lebih dikenal di Bali yakni desa kala patra atau desa mawa cara.
Inti dan penerapan dan Catur Marga adalah untuk memantapkan mengenai hidup dan kehidupan umat manusia di alam semesta ini, terutama untuk peningkatan, pencerahan, serta memantapkan keyakinan atau kepercayaan (sraddha) dan pengabdian (bhakti) terhadap Tuhan Yang Maha Esa atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan memahami dan menerapkan ajaran catur marga, maka diharapkan segenap umat Hindu dapat menjadi umat Hindu yang berkualitas, bertanggung jawab, memiliki loyalitas, memiliki dedikasi, memiliki jati diri yang mulia, menjadi umat yang pantas diteladani oleh umat manusia yang lainnya, menjadi umat yang memiliki integritas tinggi terhadap kehidupan secara lahir dan batin, dan harapan mulia lainnya guna tercapai kehidupan yang damai, rukun, tenteram, sejahtera, bahagia, dan sebagainya. Jadi dengan penerapan dan ajaran catur marga diharapkan agar kehidupan umat Hindu dan umat manusia pada umumnya menjadi mantap dalam berke-sraddha-an dan berke-bhakti-an kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, serta dapat diharmoniskan dengan kehidupan nyata dengan sesama manusia, semua ciptaan Tuhan, dan lingkungan yang damai dan serasi di sekitar kehidupan masing-masing
Tidak ada orang yang menjalankan catur marga itu sendiri-sendiri atau terpisah-pisah, karena satu sama lainnya berkaitan. Perincian menjadi empat itu hanyalah untuk mengukur dan memilih ‘bobot’ jalan yang mana yang bisa diutamakan, sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Misalnya seorang yang kurang pengetahuan agama-nya, mungkin dengan mengutamakan bhakti marga dan karma marga saja, ditambah pengetahuan minim (misalnya) rajin melakukan trisandya (termasuk jnyana marga) dan asana (termasuk yoga marga). Bobotnya adalah bhakti marga.
Tetapi seorang wiku tentu bobotnya pada jnyana marga dan yoga marga, walaupun bhakti marga yang menjadi dasar dan karma marga tidak juga ditinggalkan.
Kesimpulannya: keempat marga itu dilaksanakan bersama-sama, namun pemilihan mana yang utama tergantung dari kemampuan individu. Inilah salah satu contoh ‘kebesaran Agama Hindu’ yang membedakannya dengan agama-agama lain yang dogmatis.
a) Bhakti Marga Yoga
Pelaksanaan tri sandya dan yadnya sesa.
Jalan yang utama untuk memupuk perasaan bakti ialah rajin menyembah Tuhan dengan hati yang tulus ikhlas dengan melaksanakan Tri Sandhya yaitu sembahyang tiga kali dalam sehari, pagi, siang, dan sore hari serta melaksanakan yandnya sesa/ngejot setelah selesai memasak. Dalam kehidupan sehari -hari sebagai upaya dalam mewujudkan rasa bhakti sekaligus mendekatkan diri kehadapanya hendaknya melaksanakan puja tri sandya tersebut dengan tulus dan iklas.
Pelaksanaan pada hari-hari keagamaan
Implementasi bhakti marga yoga juga dapat dilihat pada hari-hari keagaman hindu, seperti hari saraswati, tumpek wariga dan tumpek uye. Hari saraswati adalah hari turunnya ilmu pengetahuan dengan memuja dewi yang dilambangkan sebagai ilmu pengetahuan yaitu Dewi saraswati. Hari saraswati ini jatuh pada hari Saniscara Umanis Watugunung dan diperingati setiap 210 hari. Pada hari ini semua pustaka terutama Weda dan sastra-sastra agama dikumpulkan sebagai lambang stana pemujaan Dewi Saraswati untuk diberikan suatu upacara. Menurut keterangan lontar Sundarigama tentang Brata Saraswati, pemujaan Dewi Saraswati harus dilakukan pada pagi hari atau tengah hari. Dari pagi sampai tengah hari tidak diperkenankan membaca dan menulis terutama yang menyangkut ajaran Weda dan sastranya. Bagi yang melaksanakan Brata Saraswati dengan penuh, tidak membaca dan menulis itu dilakukan selama 24 jam penuh. Sedangkan bagi yang melaksanakan dengan biasa, setelah tengah hari dapat membaca dan menulis. Bahkan di malam hari dianjurkan melakukan malam sastra dan sambang samadhi. Adapun simbol-simbol Dewi saraswati sebagai dewi ilmu pengetahuan yaitu :
Sedangkan Tumpek Wariga merupakan upacara untuk menghormati keberadaan tumbuh-tumbuhan sebagai mahluk hidup didunia atau dikenal dengan istilah “ngotonin sarwa entik-entikan”. Sementara Tumpek Uye atau Tumpek Kandang upacara dalam menghormati keberadaan hewan atau binatang yang hidup di dunia yang sering dikenal dengan istilah “ngotonin sarwa ubuhan”. Keduanya jatuh tepat setiap 210 hari dalam perhitungan hindu. Dalam konsep Tri Hita Karana penghormatan kehadapan ida sang hyang widhi wasa atas pengadaan hewan dan tumbuhan ini dilakukan dengan tulus dan iklas. Dengan kata lain melaksanakan upacara tumpek ini adalah realisasi dari konsep Tri Hita Karana alam kehidupan.Jika semua itu sudah kita lakukan dengan rasa tulus dan iklas berarti kita telah melaksanakan ajaran bhakti marga yoga.
Mengenai penerapan bhakti marga oleh umat Hindu seperti berikut ini :
  1. Melaksanakan doa atau puja tri sandhya seçara rutin setiap hari;
  2. Menghaturkan banten saiban atau jotan/ngejot atau yajnasesa;
  3. Berbakti kehadapan Tuhan Yang Maha Esa beserta semua manifestasi-Nya;
  4. Berbakti kehadapan Leluhur;
  5. Berbakti kehadapan para pahlawan pejuang bangsa;
  6. Melaksanakan upacara dewa yajna (piodalan/puja wali, saraswati, pagerwesi, galungan, kuningan, nyepi, siwaratri, purnama, tilem, tumpek landep, tumpek wariga, tumpek krulut, tumpek wayang dan lain-lainnya);
  7. Melaksanakan upacara manusia yajna (magedong-gedongan, dapetan, kepus puser, macolongan, tigang sasihin, ngotonin, munggah deha, mapandes, mawiwaha, mawinten, dan sebagainya);
  8. Melaksanakan upacara bhuta yajna (masegeh, macaru, tawur, memelihara lingkungan, memelihara hewan, melakukan penghijauan, melestarikan binatang langka, dan sebagainya);
  9. Melaksanakan upacara pitra yajna (bhakti kehadapan guru rupaka atau rerama, ngaben, ngerorasin, maligia, mamukur, ngeluwer, berdana punya kepada orang tua, membuat orang tua menjadi hidupnya bahagia dalam kehidupan di alam nyata ini, dan sebagainya);
  10. Melaksanakan upacara resi yajna (upacara pariksa, upacara diksa, upacara ngelinggihang veda), berdana punya pada sulinggih atau pandita, berguru pada orang suci, tirtha yatra ke tempat suci bersama sulinggih atau pandita, berguru pada orang suci, sungkem (pranam) pada sulinggih sebagai guru nabe, menerapkan ajaran tri rnam, dan sebagainya.
b) Jnana Marga Yoga
Ajaran brahmacari
adalah mengenai masa menuntut ilmu dengan tulus iklas. tugas pokok kita pada massa ini adalah belajar dan belajar. Belajar dalam arti luas, yakni belajar dalam pengertian bukan hanya membaca buku. Tetapi lebih mengacu pada ketulus iklasan dalam segala hal. Contohnya: rela dan iklas jika dimarahi guru atau orang tua. Guru dan orang tua, jika memarahi pasti demi kebaikan anak. Maha Rsi Wararuci dalam Kitab Sarassamuccaya, sloka 27 mengajari kita memanfaatkan masa muda ini dengan sebaik-baiknya, yang beliau umpamakan seperti rumput ilalang yang masih muda. Bahwa masa muda itu pikiran masih sangat tajam, hendaknya digunakan untuk menuntut dharma, dan ilmu pengetahuan. Dengan tajamnya pikiran seorang anak juga bisa me-yadnya-kan tenaga dan pikirannya itu.
Ajaran aguron-guron
merupakan suatu ajaran mengenai proses hubungan guru dan murid . namun istilah dan proses ini telah lama dilupakan karena sangat susah mendapatkan guru yang mempunyai kualifikasi tertentu dan juga sangat sedikit orang menaruh perhatian dan minat terhadap hal ini. Maka untuk memenuhi kualifikasi tertentu, hendaknya seorang guru mencari sekolah yang mempunyai kurikulum yang membawa kesadaran kita melambung tinggi melampaui batas-batas senang dan sedih, bahagia dan derita, lahir dan mati. Maka guru seperti itu pasti akan datang kepada kita. Menuntun kita, menentukan arah tujuan kita, menunjukkan cara dan metodenya, menghibur dan menyemangatinya. Jangan ragu, pasti akan ada guru yang datang kepada kita.
Ajaran catur guru
Berhasilnya seseorang menempuh jenjang pendidikan tertentu ( pendidikan tinggi yang berkualitas) tidak akan mungkin bila kita tidak memiliki rasa bhakti kepada Catur Guru. Mereka yang melaksanakan ajaran Guru Bhakti sejak dini (anak-anak), mereka pada umumnya memiliki disiplin diri dan percaya diri yang mantap pula. Dengan disiplin diri dan percaya diri yang mantap, tidak saja akan sukses dalam bidang akademik, tetapi juga dalam berbagai aspek kehidupan. Di sinilah kita melihat ajaran Catur Guru Bhakti senantiasa relevan sepanjang masa, sesuai dengan sifat agama Hindu yang Sanatana Dharma . Aktualisasi ajaran Guru Bhakti atau rasa bhakti kepada Catur Guru dapat dikembangkan dalam situasi apapun, sebab hakekat dari ajaran ini adalah untuk pendidikan diri, utamanya adalah pendidikan disiplin, patuh dan taat kepada sang Catur Guru dalam arti yang seluas-luasnya.
Beberapa model atau bentuk nyata dan penerapan jnana marga berikut ini :
  1. Menerapkan ajaran aguron-guron;
  2. Menerapkan ajaran guru dan sisya;
  3. Menerapkan ajaran guru bhakti;
  4. Menerapkan ajaran guru susrusa;
  5. Menerapkan ajaran brahmacari dan ajaran catur guru;
  6. Menerapkan ajaran sisya sasana;
  7. Menerapkan ajaran resi sasana;
  8. Menerapkan ajaran putra sasana;
  9. Menerapkan ajaran guru nabe, guru waktra, guru saksi;
  10. Menerapkan ajaran catur asrama; dan
  11. Menerapkan ajaran dalam wrati sasana, slokantara, sila krama, dan ajaran agama Hindu yang bersumber pada Veda dan susastra Hindu lainnya.
c) Karma Marga Yoga
Ngayah dan Matatulungan
Ngayah merupakan suatu istilah yang ada di bali yang identik dengan gotong royong. Ngayah ini bisa dilakukan di pura-pura dalam hal upacara keagamaan, seperti odalan-odalan/karya. Sedangkan matatulungan ini bisa dilakukan terhadap antar manuasia yang mengadakan upacara keagamaan pula, seperti upacara pawiwahan, mecaru dan lain sebagainya. Sesuai dengan ajaran karma yoga, maka hendaknya ngayah atau matatulungan ini dilakukan secara iklas tanpa ada ikatan apapun. Sehingga apa yang kita lakukan bisa memberikan suari manfaat.
Mekarme sane melah
Berbuat yang baik atau mekarma sane melah hendaknya selalu kita lakukan. Dalam dalam agama hindu ada slogan mengatakan“Rame ing gawe sepi ing pamrih”, slogan itu begitu melekat pada diri kita sebagai orang Hindu. Banyaklah berbuat baik tanpa pernah berpikir dan berharap suatu balasan. Niscaya dengan begitu kita akan selalu mendapat karuniaNya tanpa pernah terpikirkan dan kita sadari. Untuk melaksanakan slogan itu dalam kehidupan sehari-hari, tidaklah mudah untuk memulainya. Sebagai makhluk ciptaan Brahman, sepantasnya kita menyadari bahwa sebagian dari hidup kita adalah untuk melayani. Ber-karma baik itu adalah suatu pelayanan. Kita akan ikut berbahagia bila bisa menyenangkan orang lain. Hal ini tentu dibatasi oleh perbuatan Dharma. Slogan “Tat Twam Asi” adalah salah satu dasar untuk ber-Karma Baik. Engkau adalah Aku, Itu adalah Kamu juga. Suatu slogan yang sangat sederhana untuk diucapkan, tapi memiliki arti yang sangat mendalam, baik dalam arti pada kehidupan sosial umat dan juga sebagai diri sendiri/individu yang memiliki pertanggungjawaban karma langsung kepada Brahman.
Ajaran Karmapahala
Karma phala merupakan hasil dari suatu perbuatan yang dilakukan. Kita percaya bahwa perbuatan yang baik (subha karma) membawa hasil yang baik dan perbuatan yang buruk (asubha karma) membawa hasil yang buruk. Jadi seseorang yang berbuat baik pasti baik pula yang akan diterimanya, demikian pula sebaliknya yang berbuat buruk, buruk pula yang akan diterimanya. Karmaphala memberi keyakinan kepada kita untuk mengarahkan segala tingkah laku kita agar selalu berdasarkan etika dan cara yang baik guna mencapai cita- cita yang luhur dan selalu menghindari jalan dan tujuan yang buruk. Karmaphala mengantarkan roh (atma) masuk Surga atau masuk neraka. Bila dalam hidupnya selalu berkarma baik maka pahala yang didapat adalah Surga, sebaliknya bila hidupnya itu selalu berkarma buruk maka hukuman nerakalah yang diterimanya. Dalam pustaka- pustaka dan ceritera- ceritera keagamaan dijelaskan bahwa Surga artinya alam atas, alam suksma, alam kebahagiaan, alam yang serba indah dan serba mengenakkan. Neraka adalah alam hukuman, tempat roh atau atma mendapat siksaan sebagai hasil dan perbuatan buruk selama masa hidupnya. Selesai menikmati Surga atau neraka, roh atau atma akan mendapatkan kesempatan mengalami penjelmaan kembali sebagai karya penebusan dalam usaha menuju Moksa.
Mengenai penerapan karma marga oleh umat Hindu seperti berikut ini :
  1. Menerapkan filosofi ngayah;
  2. Menerapkan filosofi matulungan;
  3. Menerapkan filosofi manyama braya;
  4. Menerapkan filosofl paras-paros sarpanaya salunglung sabayantaka;
  5. Menerapkan filosofi suka dan duka;
  6. Menerapkan filosofi agawe sukaning wong len;
  7. Menerapkan filosofi utsaha ta larapana;
  8. Menerapkan filosofi makarya;
  9. Menerapkan filosofi makarma sane melah;
  10. Menerapkan filosofi ala kalawan ayu;
  11. Menerapkan filosofi karma phala;
  12. Menerapkan filosofi catur paramita;
  13. Menerapkan filosofi tri guna;
  14. Menerapkan filosofi trikaya parisudha; dan
  15. Menerapkan filosofi yama niyama brata dan berbagai ajaran agama Hindu.
d) Raja Marga Yoga
Ajaran astangga yoga
Astangga yoga merupakan delapan anggota dari raja yoga yang terdiri dari Yama, Niyama, Asana, Pranayama, Pratyahara, Dharana, Dhyana, dan Samadhi adalah delapan anggota (anga) dari Rajayoga iyama membentuk disiplin etika yang memurnikan hati.
Yama terdiri atas,
  1. Ahimsa (tanpa kekerasan),
  2. Satya (kejujuran),
  3. Brahmacarya (selibat),
  4. Asteya (tidak mencuri), dan
  5. Aparigraha (tidak menerima pemberian kemewahan). Semua kebajikan berakar pada Ahimsa.
Niyama adalah kepatuhan, dan tersusun atas:
  1. Sauca (permurnian dalam dan luar),
  2. Santosa (kepuasan jiwa),
  3. Tapas (kesederhanaan/pengendalian diri),
  4. Svadhyaya (belajar kitab suci dan pengucaran mantra) dan
  5. Isvarapranidhana (berserah diri pada Tuhan Yang Maha Esa).
Mereka yang bagus dalam Yama dan Niyama akan cepat maju dalam melaksanakan Yoga pada umumnya. Dengan Yama dan Niyama seseorang dapat mewujudkan Cittasuddhi atau Atmasuddhi (kesucian hati).
Asana, Pranayama dan Pratyahara merupakan perlengkapan pendahuluan dari Yoga.
  1. Asana adalah sikap badan yang benar.
  2. Pranayama adalah pengaturan napas, yang menghasilkan ketenangan dan kemantapaan pikiran serta kesehatan yang baik.
  3. Pratyahara adalah penarikan indria-indria dari objek-objeknya. Seseorang harus melakukan Pratyahara untuk dapat melihat di dalam batin dan memiliki kemusatan pikiran.
  4. Dharana adalah konsentrasi pikiran pada suatu objek atau cakra dalam Istadevata.
  5. Dhyana, atau meditasi pengaliran yang tak henti-hentinya dari pemikiran satu objek, yang nantinya membawa kepada keadaan Samadhi, saat seperti itu yang bermeditasi dan yang dimeditasikan menjadi satu. Semua vritti yakni gejolak pikiran mengendap. Pikiran kehilangan fungsinya. Segala samskara, kesan-kesan dan vasana (kecenderungan dan pikiran halus) terbakar sepenuhnya dan Yogi (pelaksana Yoga)terbebas dari kelahiran dan kematian. Ia mencapai kaivalya atau pembebasan akhir (kemerdekaan mutlak)
Pelaksanaan Hari Raya Nyepi, pada hakekatnya merupakan penyucian bhuwana agung dan bhuwana alit (makro dan mikrokosmos) untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir bathin (jagadhita dan moksa) terbinanya kehidupan yang berlandaskan satyam (kebenaran), sivam (kesucian), dan sundaram (keharmonisan/keindahan).
Catur Brata Penyepian
Hari raya nyepi Sesuai dengan hakekat Hari Raya Nyepi di atas maka umat Hindu wajib melakukan tapa, yoga, dan semadi. Brata tersebut didukung dengan Catur Brata Nyepi sebagai berikut :
  1. Amati Agni, tidak menyalakan api serta tidak mengobarkan hawa nafsu,
  2. Amati Karya, yaitu tidak melakukan kegiatan kerja jasmani, melainkan meningkatkan kegiatan menyucikan rohani,
  3. Amati Lelungan, yaitu tidak berpergian melainkan mawas diri,
  4. Amati Lelanguan, yaitu tidak mengobarkan kesenangan melainkan melakukan pemusatan pikiran terhadap Ida Sang Hyang Widhi.
Brata ini mulai dilakukan pada saat matahari “Prabata” yaitu fajar menyingsing sampai fajar menyingsing kembali keesokan harinya (24) jam.
Dalam penerapan yoga marga oleh umat Hindu, realitanya seperti berikut :
  1. Melaksanakan introspeksi atau pengendalian diri;
  2. Menerapkan ajaran tapa, brata, yoga dan samadhi;
  3. Menerapkan ajaran astangga yoga;
  4. Melakukan kerja sama atau relasi yang baik dan terpuji dengan sesama;
  5. Menjalin hubungan kemitraan secara terhormat dengan rekanan, lingkungan, dan semua ciptaan Tuhan di alam semesta ini;
  6. Membangun pasraman atau paguyuban untuk praktek yoga;
  7. Mengelola ashram yang bergerak di bidang pendidikan rohani, agama, spiritual, dan upaya pencerahan diri lahir batin;
  8. Menerapkan filosofi mulat sarira;
  9. Menerapkan filosofi ngedetin/ngeret indriya;
  10. Menerapkan filosfi mauna;
  11. Menerapkan filosofi upawasa;
  12. Menerapkan filosofi catur brata panyepian, dan
  13. Menerapkan filosofi tapasya, pangastawa, dan menerapkan ajaran agama Hindu dengan baik dan benar menuju keluhuran diri sebagai mahluk sosial dan religius.
Pilihan menggunakan para atau apara bhakti tergantung dari tingkat inteligensi dan kesadaran rohani masing-masing. Yang ditemukan di masyarakat Hindu Indonesia dewasa ini adalah mix para dan apara bhakti, namun bobotnya berbeda. Umat Hindu di Bali banyak menggunakan apara bhakti, sedangkan umat Hindu diluar Bali banyak menggunakan para bhakti.
Kenapa demikian ?
Apakah itu berarti umat Hindu di Bali inteligensi dan kesadaran rohaninya kurang ?
Tidak selalu demikian. Ada umat Hindu di Bali yang inteligensi dan kesadaran rohaninya tinggi tetapi dibelenggu oleh tradisi beragama yang monoton dan feodalistis, sehingga menampakkan diri sebagai apara bhakti. Sebaliknya umat Hindu diluar Bali lebih moderat, demokrat, rasional dan reformis, sehingga memudahkan mereka mencapai para bhakti.
Mengupayakan umat Hindu di Bali menjadi sebagian besar para bhakta tidaklah semudah membalikkan telapak tangan karena bottle-neck yang menghadang ya itu tadi: tradisi beragama dan feodalisme. Itulah sedikit ulasan kasus tentang para dan apara bhakti
Catur marga yoga ini merupakan salah satu cara atau jalan terbaik untuk mendekatkan diri kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Oleh karena itu, kita sebagai umat hindu hendaknya melaksanakan ajaran catur marga yoga dengan hati yang iklas, sehingga kualitas kehidupan kita akan lebih meningkat dan cenderung kea arah yang lebih baik untuk menuju jalan kebenaran.
Manusia tidak bisa memilih dimana kita dilahirkan. jadi kalau dilahirkan di keluarga Kristiani maka dipastikan anak tersebut akan tumbuh dan besar menjadi orang Kristen. Kalau dilahirkan pada keluarga Yahudi maka dipastikan akan menjadi orang Yahudi. Sedangkan kalau dilahirkan di pedalaman Afrika, dilahirkan pada keluarga pemeluk animisme penyembah patung berhala maka dipastikan sampai matipun kita akan menjadi pemuja berhala. Jadi dengan konsep catur marga yoga diatas maka semua ajaran dianggap sama.
Demikian paparan kecil ini dapat disajikan, semoga bermanfaat bagi umat sedharma sekalian. Harapannya, dapat terwujud manusia Hindu yang berkualitas, bertanggung jawab, dan dapat terwujudnya hidup dan kehidupan sesuai filosofi suka tan pawali duka. Mari kita terapkan ajaran catur marga dengan baik dan benar dalam kehidupan perseorangan maupun kehidupan bersama-sama dalam masyarakat yang multikultural dan multi etnis di jagat raya ini. Jauhkan perilaku apatis, primordial, partial, dan egoisme dalam tatanan kehidupan yang multi dimensi di era multi iptek.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar